Kekuatan Musik Lintas Genre: Dari Janji Setia Eren hingga Kekaguman Ilahi Carlos Santana

Musik, dalam berbagai bentuknya, seringkali berfungsi sebagai medium pelarian (escapism) dan pengungkit suasana hati yang paling murni. Baik melalui lirik puitis balada pop Indonesia maupun energi mentah rock klasik era 60-an, kekuatan musik untuk membangkitkan emosi mendalam dan menyediakan jeda dari realitas adalah fenomena universal. Hal ini terlihat jelas, mulai dari gema cinta abadi dalam lagu populer di tanah air hingga pengakuan mengejutkan seorang maestro gitar dunia tentang band favoritnya.

Gema Pop Lokal: Janji Setia ‘Takkan Pisah’
Di kancah musik dalam negeri, salah satu contoh lagu dengan ikatan emosional kuat adalah “Takkan Pisah” yang dipopulerkan oleh Eren. Lagu ini merupakan bagian dari album musik keduanya, “Perubahan”, yang dirilis pada tahun 2009. Nama Eren, atau Erna Tri Suryanti, sendiri mulai dikenal publik secara luas sebagai penyanyi latar dari grup musik Kangen Band. Seiring meroketnya nama Kangen Band, Eren pun mendapat kesempatan merilis album solo perdananya pada 2007, disusul album keduanya.

Lirik “Takkan Pisah” sendiri menyentuh tema inti kesetiaan abadi. Dengan melodi yang mendayu, lagu ini berkisah tentang janji cinta yang tak goyah meski dihadapkan pada rintangan besar, seperti restu orang tua, bahkan melampaui kematian. Janji untuk “memeluk menciummu di surga”, seperti yang tertuang dalam liriknya, adalah jenis komitmen emosional yang membuat pendengar terhubung secara mendalam.

Nostalgia dan Pelarian Era 60-an
Kekuatan musik sebagai pelarian dari kenyataan bukanlah hal baru. Jerry Garcia, pentolan grup Grateful Dead, pernah membahas fenomena ini. Ia berteori bahwa popularitas band-nya yang terus bertahan sebagian disebabkan oleh kerinduan orang akan kesederhanaan era 60-an. Meskipun dekade itu memiliki masalahnya sendiri, ada anggapan bahwa segalanya terasa sedikit lebih mudah. Garcia bahkan menyebut bahwa dunia saat ini terasa “lebih suram” (a grimmer world), dan banyak pendengar muda mungkin merasa “ketinggalan kesenangan” dari era tersebut, sehingga mereka beralih ke musik masa lalu.

Pilihan Mengejutkan Seorang Maestro Gitar
Sama seperti pendengar biasa, musisi besar pun membutuhkan musik untuk mengangkat semangat mereka. Carlos Santana, salah satu gitaris paling elektris dan serbaguna di dunia, dikenal sering menciptakan musik yang menawarkan “dorongan” semangat bagi jutaan orang. Namun, ketika Santana sendiri mencari pengungkit suasana hati, ia tidak memutar rekamannya sendiri. Sebaliknya, ia beralih ke satu band spesifik yang mungkin mengejutkan sebagian orang.

“Saat saya memejamkan mata dan bermain, saya selalu memikirkan The Doors, yang merupakan salah satu band favorit saya,” ungkap Santana. Ia bahkan menyatakan, “Saya mencintai The Doors lebih dari siapa pun atau apa pun.”

Inspirasi ‘Divine’ dari The Doors
Santana menyebut The Doors sebagai “ultimate garage band” (band garasi terbaik) dan berspekulasi bahwa mereka kemungkinan besar adalah penggemar berat musisi dunia seperti Akbar Khan dan Ravi Shankar. Keragaman pengaruh inilah yang tampaknya sangat menarik bagi Santana, yang karirnya sendiri merupakan perayaan atas keserbagunaan dalam musik.

Lebih jauh, Santana percaya musik memiliki kekuatan untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik. Ia yakin jika lebih banyak musik karya The Doors atau John Coltrane diputar di ruang publik seperti lift dan mal, hal itu akan mengingatkan orang “bahwa kita ini divine (mulia/agung).” Baginya, musik adalah penangkal dari “pikiran media” (media mind) yang belum tentu baik. Terkadang, menurut Santana, dengan mematikan TV, kita baru bisa “mendengar awan bergerak, burung berkicau, dan anak-anak tertawa.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *