Musik memiliki kekuatan luar biasa untuk merekam jejak sejarah, baik itu melalui himne perlawanan yang lahir dari keresahan sosial maupun citra visual yang tercipta dari sebuah kebetulan. Di Indonesia, lagu “Buruh Tani” telah menempati posisi sakral sebagai lagu pembebasan yang tak lekang oleh waktu. Lagu yang dipopulerkan oleh grup musik Marjinal dan diciptakan oleh Safi’i Kemaman ini dirilis pada tahun 1996, tepat saat gejolak politik mulai memanas menjelang akhir era Orde Baru.
Manifesto Persatuan dalam Lirik Lagu
Hingga hari ini, “Buruh Tani” bukan sekadar lagu, melainkan sebuah manifesto yang menyatukan berbagai elemen masyarakat. Liriknya secara tegas menyerukan persatuan antara buruh, petani, mahasiswa, dan kaum miskin kota untuk merebut kembali demokrasi. Dalam setiap baitnya, tergambar seruan untuk bersatu padu dalam satu suara demi tugas suci yang mulia. Lagu ini membawa pesan optimisme bahwa hari esok adalah milik rakyat, dengan cita-cita terciptanya tatanan masyarakat Indonesia baru yang sejahtera dan bebas dari cengkeraman tirani Orde Baru.
Pesan lagu tersebut sangat kuat menggambarkan situasi di mana rakyat turun ke jalan, menyusuri garis perlawanan, dan melakukan aksi berjuta kali. Bagi para demonstran, setiap langkah dalam aksi massa adalah sebuah kepastian menuju perubahan. Dengan tangan tergenggam, mereka mengabarkan bahwa arah bangsa ada di tangan rakyat, menjadikan lagu ini sebagai pengiring setia dalam setiap upaya menuntut keadilan dan pembebasan dari penguasa yang otoriter.
Takdir Berbeda di Belahan Dunia Lain
Sementara “Buruh Tani” lahir dari tekanan politik yang berat, di belahan dunia lain, sebuah karya legendaris justru lahir dari penolakan yang terdengar menggelikan. Hal ini dialami oleh The Beatles saat mereka berupaya menciptakan sampul untuk album debut mereka, Please Please Me. Produser George Martin awalnya memiliki ide visual yang berkaitan dengan nama band mereka. Ia ingin memotret para personel The Beatles di depan Rumah Serangga (Insect House) di Kebun Binatang London agar sesuai dengan permainan kata “beetle” atau kumbang.
Namun, realitas di lapangan tidak sejalan dengan rencana tersebut. George Martin, yang kala itu merupakan anggota dari London Zoo, harus menelan kekecewaan karena pihak pengelola kebun binatang menolak ide tersebut mentah-mentah. Pihak kebun binatang bersikap sangat kaku dan menganggap bahwa memotret sekelompok pemuda musisi di area tersebut tidak sesuai dengan citra dan selera Zoological Society of London. Penolakan tersebut membuat rencana awal berantakan, dan Martin meyakini bahwa pihak kebun binatang pasti menyesali keputusan itu di kemudian hari, mengingat album tersebut meledak di pasaran dan bertahan di tangga lagu teratas selama lebih dari satu tahun.
Ikonografi yang Lahir dari Improvisasi
Penolakan tersebut memaksa The Beatles, yang saat itu masih dianggap sebagai pemuda urakan dari Liverpool, untuk berpikir cepat. Mereka segera meninggalkan kebun binatang dan menuju kantor pusat EMI di Manchester Square, London. Di sanalah George Martin menghubungi fotografer teater Angus McBean untuk melakukan sesi pemotretan darurat. Tanpa persiapan yang rumit, McBean memotret keempat personel The Beatles yang sedang tersenyum menengok ke bawah dari pagar tangga spiral di kantor tersebut.
Siapa sangka, foto yang diambil dengan terburu-buru itu justru menjadi salah satu gambar paling ikonik dalam sejarah musik pop dunia. Wajah-wajah segar mereka di tangga tersebut menjadi simbol awal demam Beatlemania. Saking melekatnya citra tersebut, The Beatles bahkan merekap ulang pose yang sama bertahun-tahun kemudian untuk album kompilasi mereka. Bedanya, pada foto kedua, mereka tampil dengan rambut lebih gondrong, kumis tebal, dan setelan jas yang lebih nyentrik, menandakan evolusi perjalanan karier mereka yang bermula dari sebuah improvisasi tak terduga.
Terdapat benang merah yang unik dari kedua kisah ini: baik melalui lirik perjuangan di jalanan Jakarta maupun foto spontan di tangga gedung London, sebuah karya besar sering kali menemukan jalannya sendiri untuk menjadi legenda.